Untuk
pertama kalinya dalam 75 tahun, satu genus mamalia mungkin akan sirna
dari muka Bumi. Genus diketahui merupakan tingkatan taksonomi di atas
spesies, memuat beberapa spesies yang memiliki beberapa kesamaan.
Diketahui,
kejadian kepunahan genus terakhir menimpa genus Thylacinus, terjadi
tahun 1936. Saat itu, ditandai dengan punahnya harimau Tasmania.
Ancaman
kepunahan genus kini menimpa genus Beatragus. Hirola, antelop Afrika
dengan mata besar yang merupakan spesies terakhir genus Beatragus, kini
populasinya terus menurun.
Dikategorikan
"terancam" oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN),
populasi hirola turun hingga 80 persen sejak tahun 1980. Survei terakhir
Februari kemarin, ditemukan 245 hewat terfragmentasi di timur laut
Kenya dan barat daya Somalia.
Secara keseluruhan, ahli konservasi memperkirakan bahwa hanya ada kurang dari 400 hirola di sepanjang Afrika Timur.
Beberapa
faktor, seperti kekeringan akibat perubahan iklim, perburuan, perusakan
habitat maupun pemangsaan oleh spesies lain menjadi faktor pemicu
terancamnya hirola.
Sejumlah
langkah konservasi dilakukan sejak tahun 1960, meliputi pembiakan di
penangkaran maupun relokasi. Tahun 1963 misalnya, Kenya Wildlife Service
menangkap 10-20 hirola dari timur laut Kenya dan melepaskannya di Tsavo
east National Park. Meski demikian, belum banyak langkah yang bisa
dikatakan berhasil.
Kini,
harapan muncul dengan adanya Ishaqbini Hirola Community Conservancy
yang digerakkan mayoritas oleh klan Somalia dan didukung oleh The Nature
Conservancy (TNC). Komunitas tersebut menjadi wujud keterlibatan
masyarakat lokal dalam mendukung konservasi suatu spesies.
Masyarakat
yang mendukung juga mendapatkan benefit atas hasil kerjasama dengan
TNC. Ketika ada lahan yang dipakai untuk konservasi spesies lain, ada
pula wilayah untuk turisme eksklusif. Sebanyak 40 persen dari keuntungan
dipakai untuk konservasi hirola, misalnya membayar petugas patroli
pengawas pemburu.
Komunitas
Ishaqbini beberapa tahun lalu telah melakukan langkah konservasi dengan
membuat area khusus seluas 3.200 hektar untuk melindungi hirola dari
perburuan dan menjaga stok makanan. Langkah itu berhasil dan stok
makanan di padang rumput pun bertambah.
Sayangnya,
dengan semakin baiknya habitat, predator pun bertambah. Predasi oleh
singa Afrika dan anjing liar Afrika menurunkan hingga 15 persen populasi
antelop beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasinya, di area konservasi
yang sudah dibuat, komunitas Ishaqbini menciptakan area anti-predator
seluas 2.400 hektar. Area itu memberi kemungkinan agi antelop untuk
berkembang biak.
Yakub
Dahiye dari National Museum Kenya di nairobi mengatakan bahwa langkah
komunitas Ishaqbini sangat mulia dan patut dipuji. Namun, ia menilai,
konservasi saja tidak cukup menyelamatkan hirola. "Seperti halnya
penggembala nomaden, hirola memiliki kebiasaan yang sangat mobile.
Mengingat ukuran lahan yang kecil dan padang rumput yang terbatas,
hirola tidak mungkin ada di wilayah pemeliharaan itu," kata Dahiye
seperti dikutip National geographic News, Selasa (8/11/2011).
Hirola
juga menghadapi beragam tantangan. Antara lain harus bersaing dengan
domba untuk mendapat makanan dan air, termasuk juga dengan penggembala
ternak. Belum lagi perubahan gaya hidup dan modernisasi.
Pelestarian hirola kini bergantung pada lebih banyak pihak. Jika tidak, satu genus mamalia mungkin benar-benar akan sirna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar