Mitos Walisongo dengan segala bentuk kesaktian dan karomah yang diyakini dilakukan walisongo tiap kali menghadapi permasalahn dakwah, sehingga seolah Islam itu adalah karomah dan kesaktian. Dalam berbagai babak cerita walisongon, lebih tendensius khurafatisme atau “tahayulisme” , adalah bentuk pengakaran dakwah pada kwalitas kejawen murni, bukan pada situs sejarah yang menjadi sebab kebangkitan umat di masa lampau. Seperti aduk kesaktian, terbang yang bisa dilakukan sewaktu waktu, sungguh persis cerita komik bergambar “Siluman Sungai Ular “ atau “Wiro Sableng”. Nampak sekali konsep cerita sekitar “Walisongo” tak lebih dari sebuah retorika Cerpenis.
Anehnya cerita itu melegenda di tanah Jawa belaka sebagaimana konsep cerita babat tanah jawa di jaman Singosari dan Majapahit, terlalu kental dengan cerita Kejawenisme yang menampilkan lintas cerita Islam dan kejawen. Sebuah penggabungan antara metode kejawen dan premis keagamaan. Molotologi cerita yang dibuat oleh seorang yang ahli menampilkan cerita cerita fiktif. Jadi, keberadaan “Walisongo” itu tak lebih dari komodeti para pemuja Kuburan yang berspekulasi dengan enterior cerita yang dibuat dengan begitu mempesona.
Intinya, misi “walisongo” adalah misi dakwah “campur sari” dari unsur unsur kejawen dan Islam. Korbanya adalah Umat yang tidak mengerti dengan maksud proyek cerita legendaris lokal itu, siapa yang membuatnya, jelas punya kepentingan tersendiri. Kata “ Wali – Songo” , merujuk pada angka satu hingga sembilan tentu bukan secara kebetulan dibuatnya, selain asyik di ucapkan juga memang enak di dengar. Tetapi kalau mau teliti , para “walisongo” yang digembar gemborkan oleh banyak kalangan, sungguh spektakuler dan sangat kolosal , penuh dengan bumbu bumbu yang membuai orang tertarik dan terpesona. Sedangkan pada intinya kandungan cerita “walisongo” adalah cerita fiktif yang dapat merusak aqidah Islam, bila di bandingkan dengan kisah para sahabat sahabat nabi saja, maka derajat “walisongo” melebihi Tabaqat sahabat nabi. Bahkan melebih nabi itu sendiri dalam tutur ceritanya. Monomental kejawen murni yang sangat paganis yang mendasari semua cerita yang digambarkan oleh pengarangnya.
Dari segi tauhid dan ubudiyah, maka cerita “Walisongo” menjadi Instalasi kisah model Kejawen” yang babat ceritanya menonjolkan ajaran mistis dan tauhid yang dikenal dikalan kaum paganis sebelum Nabi Muhammad diutus. Dan bentuk retual ibadah yang disuguhkan para wali tak pernah terabadikan secara musnad , yang bebas dari rawi rawi terpercaya. Bagaimana kemurnian tauhidnya dan kitab rujukannya , tidak pernah dijelaskan dalam paparan sejarahnya. Sehingga yang kesan yang muncul hanya cerita kehebatan ‘walisongo’ yang begitu faktual fiktifnya. Yaitu babak kesaktian dan karomah yang sangat komoditi dalam layar lebar atau buku buku dongeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar